Koalisi HAM Papua Tolak Rencana Pemindahan Lokasi Persidangan Kasus Kerusuhan Wamena


Warga dan relawan membersihkan puing bangunan dampak kerusuhan Wamena, Senin (23/9/2019) lalu. (Sumber: Dok. Pendam XVII/Cenderawasih)

TERUSTERANG—Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Papua menolak rencana pemindahan lokasi persidangan para tersangka kerusuhan Wamena ke Merauke dan Kalimantan. Menurut koalisi, rencana itu melanggar hak-hak para tersangka dalam proses hukum yang sedang berjalan.

"Kami penasihat hukum para tersangka menolak jika para tersangka di bawa keluar daerah Wamena," kata Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Papua, Theo Hesegem, dalam keterangan tertulis, Minggu (24/11/2019) yang dikutip dari tempo.co.

Menurut Theo, rencana polisi memindahkan para tersangka akan membatasi hak mereka untuk dikunjungi keluarga. Hal itu melanggar Pasal 61 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi “Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.”


Menurut Theo, pada 12 November 2019, kepolisian menyatakan berencana untuk memindahkan sejumlah tersangka untuk diadili di Merauke, Papua, atau ke Kalimantan. Menurut dia, kepolisian dan kejaksaan berdalih lokasi persidangan perlu dipindahkan supaya hakim tak diintervensi dan tidak mendapatkan tekanan.

Theo menolak alasan tersebut. Ia mengatakan pihak keluarga tersangka menjamin proses hukum akan berjalan aman. Menurut dia, pihak keluarga menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

"Kami berharap penegakan hukum di setiap tahapan dapat dilakukan di Wamena sebagai bukti konkret dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak para tersangka," ujar Theo.

Selain itu, berdasarkan pemaparan Theo, sejumlah tersangka saat ini sedang sakit akibat luka tembak dan luka tusuk. Ia khawatir tak ada jaminan perawatan kesehatan bila mereka dipindahkan ke luar Wamena.

"Berdasarkan kondisi itulah yang diharapkan profesionalisme setiap intitusi dalam mengawal proses hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," lanjutnya.

Theo mengatakan sampai saat ini terdapat 22 orang yang menjadi tersangka kerusuhan. Tiga di antaranya telah dibebaskan karena berstatus anak, sementara satu orang dilepaskan setelah menempuh mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif. Kerusuhan yang terjadi di Wamena pada 23 September 2019 ini bermula dari aksi unjuk rasa menolak tindakan rasisme terhadap masyarakat Papua di Surabaya. Para tersangka dijerat pasal mengganggu ketertiban umum dan pembunuhan.


_____________________________
Penulis            : Indriana Mega Kresna
Editor             : Nasy’ah Mujtahidah Madani

Post a Comment

0 Comments