Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. (Sumber: Dok. TirtoID)
Menggunakan
kemeja putih dan celana kain hitam, Terawan Agus Putranto masuk ke pelataran
Istana Kepresidenan sambil memegang gawai di tangan kiri. Tangan kanannya melambaikan
tangan berulang kali.
Hari itu,
Selasa 22 Oktober, ia dipanggil Presiden Joko Widodo. Publik menduga ia akan
dijadikan menteri kesehatan dalam kabinet baru Jokowi. Namun, saat itu mantan
Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat itu tak mengatakan apapun, ia hanya
mengubah gesture sekali dengan memberi acungan jempol.
Setelah
bertemu Jokowi, Terawan baru buka omongan terkait penunjukan sebagai menteri
kesehatan. Ia pun memutuskan pensiun dini dari karier dokter militernya, tulis tirto.id.
“Saya
tinggal semua. Saya harus fokus untuk membantu Bapak Presiden dalam kabinet
ini,” kata dokter berpangkat Mayor Jendral itu.
Hari
berikutnya, Terawan dicegat wartawan. Penyebabnya bukan lagi soal penunjukannya
sebagai menteri, tetapi terkait surat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
tertanggal 30 September 2019 yang dikirim ke Presiden Jokowi.
Surat
rahasia itu berisi keberatan MKEK apabila Terawan dijadikan menteri kesehatan
karena pertimbangan masalah etik. Tapi surat itu bocor ke publik.
“Yang
berkasus itu siapa? Biarin aja. Saya kan enggak pernah nanggapi,” kata Terawan
menanggapi surat itu. “Nggak perlu [memenuhi panggilan MKEK]. Kita [saya] kan
memang bukan waktunya. Ada tata caranya. Saya waktu itu kan militer.”
Kasus
yang dimaksud MKEK dan Terawan itu merujuk pada polemik metode cuci otak dengan
Digital Substrction Angiography (DSA) untuk pengobatan pada tahun 2018.
Pengobatan itu dilakukan Terawan dan diklaim bisa menyembuhkan stroke.
Sikap
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) saat itu tegas, selama belum
ada hasil uji klinis terhadap metode ‘cuci otak’ Terawan, maka penggunaannya
harus dihentikan sementara. Sedangkan MKEK IDI menyatakan mereka juga menunggu
hasil penelitian Kemenkes untuk bisa mengambil langkah berikutnya.
Karenanya,
MKEK saat itu hanya menyebut pelanggaran etik Terawan terkait Pasal 4 dan Pasal
6 Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Dua pasal itu memuat pelarangan
dokter memuji diri sendiri dan senantiasa berhati-hati mengumumkan dan
menerapkan pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya.
Setelah
itu MKEK memanggil tiga kali Terawan, tapi ia tidak hadir. Hasilnya, putusan
sanksi pemecatan dari MKEK keluar pada 26 Februari 2018.
Dalam
perkembangannya, pada bulan April 2018, sanksi terhadap Terawan ditangguhkan.
Saat itu DPR meminta agar Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan
Konsil Kedokteran Indonesia meninjau ulang masalah pemecatan Terawan.
Pengkajian
kemudian dilakukan oleh Kemenkes dalam tim Health Technology Assessment (HTA).
Bulan Desember 2018, tim ini masih belum terlihat buah kerjanya. Metode ‘cuci
otak’ dengan Digital Substrction Angiography (DSA) untuk pengobatan dari
Terawan kemudian menggantung begitu saja.
Ketua
Dewan Penasihat MKEK Prijo Sidipratomo tak mau menjawab soal surat dan sanksi
terhadap Terawan ini, sedangkan Broto juga tak membalas pertanyaan Tirto
melalui pesan singkat ataupun panggilan telepon.
Wakil
Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Slamet Budiarto tak mau menjawab perihal status
Terawan sekarang. Dia mengaku tak tahu mengenai surat dari MKEK dan mengklaim
seharusnya masalah Terawan adalah urusan internal IDI semata.
“MKEK
harusnya tidak etis membuat surat tersebut. Pelanggaran kodeki (kode etik
kedokteran Indonesia) tidak terkait dengan jabatan seseorang,” kata Slamet
kepada Tirto.
Terawan
sendiri sampai sekarang tidak mengakui metode cuci otak-nya bermasalah. Pada
November 2018, dia mengklaim metodenya sudah mengantongi izin praktik dari
Kemenkes.
"Sebenarnya
sudah, kalau tidak memberikan [izin] pasti ada surat keputusan tidak boleh
melakukan," kata Terawan di Jakarta usai menandatangani kerja sama
pengobatan DSA untuk 1.000 turis Vietnam pada Senin (12/11/2018).
Soal etik
Terawan sebenarnya berpengaruh bagi pelayanan kesehatan di Indonesia. Menurut
UU Praktik Kedokteran, yang bertugas mengatur, mengesahkan, menetapkan, serta
membina, dokter dalam adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Masalahnya,
di dalam KKI pun ada berbagai unsur keanggotaan. Salah satu unsur tersebut
adalah Departemen Kesehatan di bawah naungan Kemenkes yang kini jadi kekuasaan
Terawan.
Kendati
begitu, Slamet Budiarto tak mau berkomentar banyak soal kemungkinan Terawan
menggunakan posisinya untuk melegalkan praktik cuci otak atau pengobatan
lainnya yang belum teruji di kemudian hari. Dia malah memberi pertanyaan
retoris yang terkesan mendukung praktik Terawan.
“Mau
tanya, apakah ada pasien yang komplain? Atau menuntut?” kata Slamet. Ketika
ditanyakan lagi soal status Terawan, dia mengelak, untuk ke sekian kalinya:
“Saya nggak berwenang menjawab. Silakan hubungi Ketum PB IDI.”
Padahal
dalam Pasal 5 ayat (2) di dalam UU Kesehatan, pasien berhak memperoleh pelayan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Metode ‘cuci otak’ Terawan jelas
tidak memenuhi standar keamanan karena belum ada uji klinis yang diakui
Kemenkes.
Terseret Dugaan Korupsi
Selain
masalah etik, menteri Jokowi-Ma’ruf Amin juga disandera dugaan korupsi. Menteri
Dalam Negeri yang baru, Tito Karnavian diduga terlibat dalam kasus dokumen buku
merah.
Buku
merah adalah sebutan untuk catatan transaksi keuangan perusahaan milik
pengusaha impor daging Basuki Hariman. Hariman merupakan terdakwa kasus suap
kepada Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam uji materi undang-undang
peternakan dan kesehatan hewan.
Dalam
buku itu, diduga ada sejumlah nama pejabat penting yang menerima uang dari
Basuki, termasuk Tito. Tito tercatat menerima aliran uang sebanyak sembilan kali
dengan total Rp8,1 miliar.
Saat
dikonfirmasi oleh tim Indonesia Leaks soal namanya dalam buku merah, dia hanya
mengatakan “sudah dijawab oleh humas.”
Barang
bukti penting itu dirusak oleh dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dari unsur kepolisian. Dalam rekaman kamera pengawas (CCTV) dua penyidik, yakni
Roland Ronaldy dan Harun tertangkap kamera sedang melakukan perusakan buku
merah di ruang kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada 7 April 2017.
Tidak
hanya merusak, Roland juga mengganti BAP Kumala Dewi Sumartono, sekretaris
Basuki. Dalam BAP yang dibuat Roland, catatan aliran uang dalam buku merah
dihilangkan. Padahal, aliran dana yang tercantum dalam buku merah menjadi salah
satu poin dalam BAP sebelumnya yang dibuat oleh Surya Tarmiani.
Roland
dan Harun kemudian dikembalikan KPK ke institusi Polri. Namun alih-alih
mendapat sanksi dari Polri, keduanya justru mendapat promosi. Roland menjadi
Kapolres Cirebon, sedang Harun berkesempatan mengikuti sekolah pimpinan
(Sespim) Polri.
Setelah
perusakan itu, polisi menyita barang bukti buku merah dari KPK. Alasannya untuk
menindaklanjuti dugaan perusakan buku merah. Tapi pada akhirnya polisi pun
menyebut keduanya tak terbukti melakukan perusakan.
Sementara
itu, dugaan aliran uang seperti yang tercatat dalam buku merah itu sampaikan
kini tidak pernah diungkap. Barang bukti buku merah itu tidak pernah diungkap
oleh polisi.
Selain
Tito, ada juga nama Zainudin Amali yang jadi Menteri Pemuda dan Olahraga.
Zainudin terseret sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah yang melibatkan mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2014.
Saat itu,
Zainudin pernah dimintai uang sebanyak Rp 10 miliar oleh Akil dalam Pemilihan
Gubernur Jawa Timur 2014. Pembicaraan itu terjadi dalam blackberry messenger Oktober
2013.
Ia
mengakui bahwa permintaan itu datang dari Akil dengan tawaran kemenangan
pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf. Keduanya diusung oleh beberapa partai,
salah satunya Partai Golkar.
Kasus
lain yang menyeret nama Zainudin adalah suap terhadap menteri ESDM, Jero Wacik.
Pada 2014 Zainudin pernah dipanggil sebagai saksi untuk tersangka mantan Sekjen
ESDM Waryono Karno. KPK bahkan pernah menggeledah rumah Zainudin saat ia masih
menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR.
Saat
bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan, Zainudin mengaku diminta menandatangani
pakta integritas yang menyatakan dirinya tidak terlibat kasus korupsi.
"Iya
teken pakta integritas, isinya kerja dengan baik akan menjalankan tugas sesuai
undang-undang dan peraturan yang ada," ungkap Zainudin.
Ironi Pemberantasan Korupsi
Usai
mengumumkan nama-nama kabinetnya, Jokowi berpesan kepada menterinya agar tidak
melakukan korupsi. Pesan ini justru berkebalikan dengan keputusan Jokowi yang
justru melibatkan Tito dan Zainudin dalam kabinetnya.
Jokowi
pun tidak lagi menggandeng KPK untuk menelusuri rekam jejak calon menterinya.
Padahal pada periode pertama, Jokowi menggandeng KPK untuk memberikan catatan
terhadap calon menterinya.
Itu yang
membuat Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri
Amsari kecewa. “Dulu Pak Jokowi menggunakan KPK untuk membangun citra kabinet
yang anti-korupsi. Sekarang kan fokusnya berbeda,” kata Feri kepada Tirto.
Tahun
ini, pemerintahan Jokowi menyepakati revisi Undang-undang KPK yang justru
melemahkan KPK. Revisi ini membuat mahasiswa di pelbagai wilayah di Indonesia
menggelar demo besar-besaran.
Sebelum
polemik revisi UU KPK, pemilihan Pimpinan KPK juga menjadi sorotan publik.
Terutama terhadap ketua KPK terpilih, Firli Bahuri. Firli dinilai tidak layak
karena memiliki rekam jejak masalah etik semasa ia bertugas di KPK.
“Jadi ya
sudah, dia menjalankan kepentingan dia dan kelompoknya saja. Jokowi dan partai
politiknya saja,” kata Feri. “Karena ada figur-figur tertentu yang kalau
diberikan kepada KPK akan menjadi bahaya merah [rapor merah]. Bukan tidak
mungkin Jokowi mau menghindari polemik.”
Dengan
tidak digunakannya KPK dalam pemilihan menteri, Feri meyakini mantan Gubernur
DKI Jakarta itu bukanlah figur yang benar-benar peduli pada pemberantasan korupsi.
Padahal, ada banyak orang di Indonesia yang sama—atau lebih berkapasitas dapat
menduduki jabatan menteri dan juga bersih dari korupsi.
______________________________________________________________________________
Sumber:
Editor: Nasy’ah Mujtahidah Madani
0 Comments